Dengan totalitas menjadi insan seni
membangun cinta budaya sendiri
meski modernitas kemajuan zaman
mencengkeram adiluhung kebudayaan
gigih mempertahankan tradisi
adalah langkah yang luhur budi
Semangat Munali Patah tak pernah patah,
Remo dan Munali tak pernah pergi
(Nur
Aziz Asmuni, 04 September 2022)
Sebuah festival seni dilangsungkan di Kabupaten Sidoarjo.
Festival itu bernama Munali Patah. Munali, seorang maestro tari remo yang
berasal dari Desa Banjar Kemantren, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo.
Dalam dunia seni Sidoarjo, Munali Patah merupakan seorang legenda seni dalam
arti yang sebenar-benarnya. Sepanjang hayatnya, ia hidup dan menghidupi Ludruk.
Ia inovator dan kreator seni dengan mencipta gaya tari remo bernama Remo Munali
Patah. Ia juga seorang koreografer ulung dengan karya cipta tarinya yang
bertajuk Tari Cokronegoro, tarian khas Sidoarjo. Dengan senjata alat-alat
keseniannya: gongseng di kaki, sampur di tangan dan udeng di kepala; Munali
Patah gigih melestarikan dan menghidupi kesenian rakyat hingga akhir hayat.
Buku Munali Patah
Pahlawan Seni dari Sidoarjo menceritakan bahwa Munali Patah lahir dari
rahim ludruk karena keluarganya adalah seniman ludruk. Sejak sebelum
kemerdekaan republik, Munali telah bermain ludruk. Dengan ludruk, ia
memperjuangkan kemerdekaan ketika ia bergabung dengan grup Alap-Alap, gerakan
pembela kemerdekaan. Setim dengan Cak Durasim, seniman legendaris Surabaya.
Munali Patah selama hidupnya secara total tenggelam dalam seni ludruk: kecil
belajar ludruk, remaja dan dewasa bermain dalam berbagai kelompok ludruk, dan
tua mengajar ludruk bagi generasi selanjutnya.
Nama Munali Patah menjulang tinggi saat ia melakukan
gebrakan pembaharuan kreasi pada tari remo, tarian yang menjadi bagian dari
pentas ludruk. Gebrakan-gebrakan ini berasal dari kegelisahan hatinya akan
ancaman kepunahan Tari Remo. Maka, ia beradaptasi dengan zaman dengan
melahirkan gaya baru tari remo, yaitu Ngremo
Munali Patah. Karya cipta ini diakui oleh banyak seniman dan kalangan
sebagai langkah cerdas untuk menyelamatkan tari remo sekaligus memperluas
jangkauan tari remo pada khalayak yang lebih lebar.
Pertama, ia memisahkan tari remo dari ludruk. Dulu, tari remo hanya dapat
dipentaskan bersama ludruk. Munali Patah menyebut tari remo dalam ludruk
sebagai gado-gado busuk yang tak dapat dimakan. Remo harus dipisahkan dari
ludruk, prinsip Munali Patah. Kemudian, Munali Patah mengajukan ide bahwa tari
remo bisa berdiri sebagai pementasan tersendiri yang mandiri. Hasilnya, tari
remo dapat dipentaskan pada dua kondisi: saat pementasan ludruk atau pun
pertunjukan tanpa ludruk. Hal ini mengakibatkan tari remo dapat dipentaskan
dalam spketrum kebudayaan yang lebih luas daripada saat masih digabung dengan
ludruk. Tari remo pun dapat diajarkan kepada orang-orang di luar ludruk seperti
sanggar tari dan sekolah-sekolah kesenian.
Kedua, Munali Patah memadatkan tari remo menjadi 10 menit yang awalnya
dipentaskan selama 60 menit. Munali merasa bahwa tari Remo yang lengkap terasa
terlalu lama dan panjang dalam penyajiannya. Dengan pemadatan ini, Tari Remo
Munali menjadi lebih mudah untuk dipelajari dan dipentaskan. Munali Patah dalam
buku Munali Patah Pahlawan Seni dari
Sidoarjo menyebutkan bahwa tari remo ala Munali bercirikan sikap adeg dengan tumpuan badan pada kedua
pencak.
Pesan dari Festival Seni Munali
Patah
Dengan seabrek pengabdian, dedikasi dan jasa Munali Patah
pada dunia kesenian, Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda) menggelar festival seni
dengan menyematkan nama beliau. Festival
Seni Munali Patah (FSMP) 2022 sebagai nama resmi pagelaran ini. Menggunakan nama
Munali Patah, festival ini tentunya bertujuan untuk mengenalkan sejarah, kiprah
dan sepak terjang Munali Patah sebagai pahlawan seni yang bertungkul lumus
dengan ludruk, mengkreasikan tari remo, dan mencipta tari cokronegoro kepada
para pegiat seni, generasi muda dan masyarakat Sidoarjo.
Festival ini berlangsung selama satu minggu: mulai tanggal
4 hingga 10 September 2022. Berlangsung di dua tempat, yakni Dekesda Art
Center, Jl. Erlangga 67 Sidoarjo dan halaman parkir Mal Pelayanan Publik (MPP) Sidoarjo, di Jalan Lingkar Timur Sidoarjo.
Selama satu minggu penuh, FSMP 2022 menyuguhkan
penampilan-penampilan dari berbagai ragam seni. Pertunjukan tersebut adalah
tari remo Munali Patah, tari cross
culture, banjari, ludruk, karawitan, jaranan, musikalisasi puisi, musik
patrol, orasi kebudayaan, orkestra biola, teater, bazaar buku, seni instalasi,
dan beberapa pertunjukan seni lain. Selain menampilkan ragam seni, FSMP 2022
juga menggelar malam apresiasi yang berupa pemberian penghargaan kepada para
seniman Sidoarjo yang mempunyai dedikasi kuat untuk mencurahkan seluruh
kehidupannya di bidang seni budaya.
Festival Seni Munali Patah bertema “Gedruk Gongseng
Bertalu”. Gongseng secara literal merupakan gelang lonceng kecil yang dipasang di pergelangan kaki. Dalam tari remo,
gongseng akan berbunyi mengiringi gerakan kaki sang penari yang rancak dan
dinamis. Dan tentunya gerakan kaki akan berpadu dengan iringan musiknya.
Gongseng, menurut Ramadhani (2020) adalah unsur tata busana yang penting pada
penari remo selain juga terdapat unsur-unsur lain seperti udeng (ikat kepala), baju lengan panjang, celana bludru, kace, pols deker, sabuk, kamus timang,
boro-boro, kain jarik, rapek, giwang (anting-anting) dan sampur.
Arti harfiah dari gedruk adalah hentakan. Gerak kaki yang
dihentakkan ke bumi. Dalam buku Munali
Patah Pahlawan Seni dari Sidoarjo (2011)
disebutkan bahwa gedruk adalah salah satu gerakan khas tari remo yang
berupa gerakan tumit kanan dimainkan ke atas dan ke bawah. Bertalu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
terus menerus tiada henti-henti atau tidak putus-putus. Tema besar “Gedruk
Gongseng Bertalu” ini menggambarkan tari remo dengan gerakan kaki yang
dihentakkan ke tanah hingga gongseng (lonceng) berbunyi bertalu-talu bersama
dengan alunan irama musikal.
Festival Munali Patah 2022 cukup memberikan gaung pada
kehidupan kesenian di Sidoarjo. Ada beberapa poin yang perlu dicatat tentang
festival ini yang dapat menjadi bahan refleksi bagi para segenap pelaku,
pekerja, pengamat bahkan penikmat kesenian di Sidoarjo.
Catatan pertama dari FSMP 2022 bahwa festival ini adalah gawe akbar kesenian di Sidoarjo. Festival ini menampilkan ragam
bentuk seni yang berbeda-beda: tari, seni tradisi, sastra, teater, seni rupa
dan musik. Pembukaan hari pertama diawali dengan Tari Remo yang dipentaskan
oleh anak biologis Munali Patah: Uriati. Ludruk Balada dari seni tradisi
mempertunjukkan lakon Tembang Sunyi
Godong Tebu. Seni musik menyajikan Kinasih Band, band yang mengusung tema
lingkungan dan kehidupan masyarakat pada lagu-lagunya. Pementasan teater
diwakili oleh teater republik dengan mengusung naskah Agus Noor berjudul
“Tangis”. Forum Teater Sidoarjo mengusung naskah berjudul “Jendral
Gentayangan”. Sastra mempersembahkan diskusi buku yang membedah 12 buku sastra
dan masih banyak lagi pementasan lainnya. Tidak hanya bentuk seni yang
dipertunjukkan sangatlah beragam, tetapi pihak yang terlibat juga terdiri dari
berbagai kalangan dan kelompok umur. Murid-murid SMPN 4 dan SMPN 5 Sidoarjo
turut memeriahkan dengan seni karawitan. Siswa-siswa SMKN 1 Krian menjadi tim
paduan suara. Seluruh seniman dari berbagai umur melebur menjadi satu demi
kepentingan kesenian dan kebudayaan Sidoarjo.
Seperti gedruk gongseng yang bergerak beriring-iringan dan
bertalu-talu, festival ini menjadi ajang parade kesenian, gegap gempita
keindahan dan pesta pora kebudayaan. Festival yang rencananya akan digelar tiap
dua tahun ini patut dipertahankan untuk menyalakan cahaya kesenian dan
mengobarkan api kebudayaan di Sidoarjo.
Jika terdapat hal yang luput dari festival ini adalah nama
festival, Munali Patah, tidak mampu mengikat seluruh pertunjukan kesenian dalam
gerak yang sama, yaitu tentang Munali Patah. Tema “Gedruk
Gongseng Bertalu” tidak sanggup membuhul semua
performa untuk merujuk pada sosok Munali Patah. Tiap-tiap komite seni
seakan-akan asyik berjalan sendiri-sendiri tanpa keseragaman tematik, kecuali
pertunjukan tari remo di awal acara dan pemutaran film Remo Namaku.
Catatan Kedua dari FSMP adalah bahwa Tari
Remo Munali Patah tidak hanya tentang pelestarian kesenian tetapi juga
mengusung spirit pembaharuan, semangat inovasi dan geliat kreativitas. Tari
Remo di tangan kreasi Munali Patah semakin relevan dengan zaman. Maka, Munali Patah adalah simbol
pengembangan kebudayaan dengan sentuhan-sentuhan inovasinya pada tari remo
hingga memunculkan gaya Tari Remo Munali Patah.
Munali Patah dan Pengembangan
Kebudayaan
Salah satu amanat UU Pemajuan Kebudayaan 2017 adalah
pengembangan kebudayaan. Aras ini bisa ditempuh dengan penciptaan karya-karya
seni baru berbasis seni tradisi. Seni tradisional yang semakin terpinggirkan
dapat dicipta-ulang dan dikreasikan kembali dari berbagai medium seni untuk
menjadi karya seni yang sesuai perkembangan zaman. Dalam hal ini, peran
kreativitas dan inovasi menjadi vital.
Salah satu seni yang menarik dari perhelatan Festival
Munali Patah 2022 adalah pemutaran film berjudul Remo Namaku: Gedrug Gongseng Bertalu (2022). Film dengan naskah
yang ditulis oleh Kirana Kejora dan disutradarai oleh Endri Pelita. Film pendek
ini menjadi menarik sebagai bahan kajian karena merespon sang maestro, Munali
Patah, dalam film yang dikatakan dikemas dalam nuansa kekinian. Bagaimana tari
remo yang dianggap tradisional didokumentasikan dalam bentuk film pendek
berciri modern?
Poster Film Remo Namaku
Scene pertama film pendek ini adalah adegan persembahan
kepada Munali Patah, sang maestro remo. Terlihat seorang perempuan bernama
Uriyati (anak Munali Patah) menari remo dengan gerak gemulai sambil menghadap
foto Munali Patah yang tergantung di dinding. Ada pula adegan ketika Mbak Uri
berdoa di makam Munali Patah dengan nisan bertuliskan periode kehidupan Munali
Patah: 21 Mei 1921-06 April 2004.
Film ini mengisahkan tentang seorang anak bernama Remo yang
menyukai video vlogging. Anak
tersebut dinamakan Remo karena sang ayah terinspirasi tari remo. Sang ayah
adalah seorang penulis calon buku Tarian
Munali Patah Tak Pernah Membuat Patah namun meninggal terlebih dahulu
hingga tak mampu menyelesaikan bukunya. Tentang nama Remo, ibunya berkata:
“Remo Rahadian. Bapakmu ngekeki jeneng awakmu. Romo Rahadian
iku. Pengen anake dadi ksatria seng kuat. Nduwe sifat welas asih. Nek
dikhianati gak koyok ngene.”
“Remo Rahadian. Bapakmu memberimu nama Romo Rahadian itu agar kamu
jadi kstaria yang kuat, punya kasih sayang.”
Remo terlibat kisah kasih dengan Vian, seorang selebgram.
Namun, pada suatu waktu, Remo mengetahui bahwa Vian (selebgram) bergandengan
tangan dengan seorang cowok yang mengaku sebagai selebgram juga. Selebgram
palsu tapi kaya harta. Remu pun patah hati.
Remo mulai memasuki dunia remo ketika diminta ibunya untuk
mengantarkan baju kepada pelatih tari bernama Mbak Uri. Di sanggar tari di mana
anak-anak sedang belajar tari remo, Remo bertemu dengan seorang perempuan,
anggota sanggar tari, yang menarik hatinya.
Sebagai seorang vlogger,
Remo pun mulai tertarik untuk mengambil video tentang tari remo. Seiring
berjalannya waktu, Remo juga mulai belajar tari remo dari perempuan tersebut.
Ia tidak hanya tertarik dengan perempuan penari remo tetapi juga tari remonya.
Ia belajar tentang gerakan gedrug
atau gerak menghentak bumi dan gerak ayam hutan: gerak seperti ayam yang
mencari makan di hutan.
Akhirnya, Remo semakin tenggelam dalam lautan dunia tari
remo. Hingga ia teringat akan draft naskah buku ayahnya berjudul Tarian Munali Patah Tak Pernah Membuat Patah.
Ia pun bertekad untuk menyelesaikannya. Film ini diakhiri dengan ketika Remo
dan anggota sanggar tari menggelar pertunjukan Tari Remo bagi masyarakat luas.
Film Namaku Remo ini sangat menarik jika ditilik dari dua
titik. Pertama, film ini bertaburan
dengan mutiara falsafah-falsafah tentang kehidupan seniman dan idealisme
berkesenian. Tentu, falsafah ini digali dari kehidupan Munali Patah. Misalnya,
idealisme ayah Remo yang tertulis di vespa merah yang kemudian diwariskan pada
Remo. Tulisan itu berbunyi: urip urup
soko tulisan (hidup mati dari tulisan). Nasihat ibu Remo tentang sikap
hidup suaminya bahwa seni itu bisa menghaluskan jiwa. Ada pula dua narasi menarik
yang bersumber dari falsafah hidup Munali Patah: (1) Jadi seniman asal serius dan benar, akan berguna manfaatnya bagi
lingkungan, (2) Keringat itu rasanya
asin. Tidak enak. Makanya jangan makan keringat orang lain. Karena itu tidak
enak. Dua falsafah ini termaktub pada buku Munali Patah Pahlawan Seni dari Sidoarjo (2011).
Kedua, pembuatan film tentang seorang maestro tari remo, Munali Patah,
adalah bagian dari upaya dokumentasi seni dan budaya. Digitalisasi dalam bentuk
film pendek yang juga dapat ditonton di youtube ini diharapkan mampu
memperpanjang nafas seni tari remo ini dan juga memperlebar pengenalan tari
remo bagi kalangan yang lebih luas. Seperti pesan yang tergambar dalam film:
tokoh Remo melakukan dokumentasi vlogging
atas kegiatan latihan tari remo dari sebuah sanggar tari.
Namun, ada beberapa kritik terkait film Namaku Remo. Misalnya, jalinan cerita
yang tergagap-gagap karena jalur cerita yang kurang solid. Bangunan-bangunan
kisahnya juga terasa kurang logis. Kisah cinta yang seakan-akan dipaksakan
masuk dalam kehidupan tokoh Remo. Belum lagi, backgroud musik yang dalam beberapa scene malah menganggu dan
kurang kompatibel dengan scene-nya.
Namun, terlepas dari berbagai kekurangan, usaha untuk memfilmkan maestro tari
remo, Munali Patah, sangat patut untuk dihargai dan diapresiasi. Lebih-lebih
film ini berusaha disajikan dalam format kekinian.
Harapan terbersit bahwa film pendek ini memantik munculnya
film-film bertema kesenian dan kebudayaan di Sidoarjo. Maka, catatan kedua dari
pagelaran Festival Munali Patah 2022 adalah semangat pembaharuan, inovasi dan
kreativitas dalam penciptaan-penciptaan karya baru dari berbagai medium seni
dengan mengembangkan dan merespon seni-seni tradisi.
Remo Munali dan Kebijakan Publik
Pada spektrum yang lebih luas, Munali Patah sebagai sosok
seniman sudah sepatutnya menjadi center bagi
kehidupan kesenian di Sidoarjo. Ini adalah catatan ketiga dari Festival Seni
Munali Patah 2022, yaitu terkait dengan kebijakan publik pada ranah kesenian.
Hal ini sudah diawali dengan sangat baik oleh Bupati
Sidoarjo yang mengintruksikan seluruh pegawai pria Pemkab Sidoarjo akan kompak
memakai udeng pacul gowang pada hari-hari tertentu. Seperti yang sudah
diketahui bahwa Munali Patah juga seorang kreator udeng khas Sidoarjo yang
berbentuk pacul gowang.
Intruksi bupati tersebut tertuang pada surat edaran
bernomor 065/8800/438.1.3.1/2022. Surat edaran ini secara umum mengintruksikan
kepada pegawai ASN dan Non ASN di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo
untuk memakai tutup kepala udeng model pacung gowang bermotif batik khas
Sidoarjo, dan bagi wanita memakai syal leher bermotif batik khas Sidoarjo.
Selain itu, Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo juga menggelar
pelatihan-pelatihan pembuatan udeng pacul gowang di SMP-SMP se-kabupaten.
Sebuah langkah maju yang patut diapresiasi.
Akan tetapi, kebijakan berbasis Munali Patah yang hanya
pada tataran udeng pacul gowang tentu mengerdilkan peran maestro remo ini.
Masih banyak aspek-aspek dari sosok Munali Patah yang dapat digali sebagai
bahan kebijakan publik dalam pemajuan seni dan kebudayaan. Misalnya adalah
pembuatan patung Munali Patah. Menilik segala kotribusinya pada kesenian,
Munali Patah tentu lebih dari layak untuk dibuatkan patung khusus atau monumen
khusus, seperti halnya Cak Durasim di Surabaya.
Karya-karya Munali Patah seperti Tari Remo Munali Patah dan
Tari Cokronegoro juga masih terbengkalai. Diperlukan langkah-langkah
revitalisasi. Sudah sepatutnya Pemkab, misalnya, membangun insfrastruktur
sosial budaya untuk melestarikan karya budaya ini. Contohnya adalah menjadikan
Tari Remo Munali Patah dan Tari Cokronegoro
sebagai mata pelajaran ekstrakurikuler pilihan atau bahkan wajib pada
jenjang SD dan SMP yang dinaungi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sidoarjo.
Bukankah spirit utama Munali Patah memisahkan tari remo dari ludruk adalah agar
remo bisa diajarkan kepada murid-murid di sekolah?
Contoh nyata sudah eksis, yaitu langkah progresif yang
diambil oleh Pemkot Surabaya yang mewajibkan ekstrakurikuler tari remo bagi
pelajar SD dan SMP. Lalu, mengapa misalnya Pemda Sidoarjo tidak mengambil
langkah serupa? Atau setidaknya Pemda Sidoarjo mengambil langkah-langkah
persiapan seperti pelatihan guru kesenian se-Sidoarjo tentang Tari Remo Munali
Patah dan Tari Cokronegoro. Langkah ini nantinya dapat mengarah pada
diwajibkannya ekstrakurikuler kedua tari tersebut bagi pelajar-pelajar di
Sidoarjo.
Munali Patah ibarat sumber mata air kesenian yang terus
mengalir. Kita dapat mengambil, menimba dan memanfaatkan airnya demi
terciptanya kehidupan kesenian yang sehat dan bermartabat. Munali Patah adalah
sumber inspirasi untuk menjadi insan seni yang dedikatif untuk terus berkarya
seperti pada catatan pertama. Pada catatan kedua, Munali Patah adalah sumber
kreasi untuk terus berinovasi dan melakukan pembaharuan dalam berkesenian.
Karya-karya Munali Patah juga dapat menjadi pijakan kebijakan-kebijakan kesenian,
khususnya di Sidoarjo, seperti termaktub pada catatan ketiga.
Walakhir, acara-acara kesenian seringkali alpa dari pencatatan dan nihil dokumentasi tulisan. Padahal dokumentasi acara seni budaya tidak kalah pentingnya dari pagelaran acara itu sendiri. Catatan seni dapat menjadi bahan evaluasi, sumber refleksi dan basis kreasi untuk menatap dan mempersiapkan pagelaran-pagelaran selanjutnya. Maka, tulisan ini semoga dapat menjadi catatan dokumentasi tentang Festival Seni Munali Patah 2022. Seperti halnya puisi panjang berikut yang cukup jeli dan komprehensif dari Nur Aziz Asmuni dalam merespon festival seni ini.
REMO DAN MUNALI TAK PERNAH PERGI
Menggali referensi
Membaca biografi
kau tumbuh sejak zaman penjajahan
mencari jalan berkesenian
dengan Ludruk dan Tari Remo
Sebagai media perjuangan dan ekspresi
sampai era modern kau kibarkan
dengan bara nyali berapi-api
mereka bertanya
apakah dengan berkesenian
kau bisa merasakan kemerdekaan?
daya kreativitas tak boleh diberi batas
biar merentang sayap-sayap kemandirian
sebagai anak bangsa yang menerobos
dinding-dinding pembatas
melahirkan karya berkarakter
budaya khas keindonesiaan
Tarian remo
Mengubah sedih menjadi riang
luka pun hilang
dengan gerak tubuh seni yang menawan
Remo diperhitungkan
di mancanegara
budaya yang lestari
mari nguri-uri
agar tak punah
biar tidak diakui bangsa lain
kekayaan intelektual yang andal
meruwat tari remo
dengan menjaga eksistensinya
luhur dalam gerak tariannya
meneguhkan keanggunannya
indah memekarkan cinta
(Nur Aziz Asmuni, 4 September 2022)
Daftar Pustaka:
Nurcahyo, Henri Nur & Ridlo’i. Munali Patah: Pahlawan Seni dari Sidoarjo. Sidoarjo:
Dewan Kesenian Sidoarjo, 2011.
Prakoso, R. Djoko. “Maestro Remo
Munali Patah,” Majalah Kidung, Surabaya:
Dewan Kesenian Sidoarjo, 2001.
Ramadhani, Lidya. Gaya Tari Remo Munali Patah. Skripsi
Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2020.
Film Namaku Remo. Sutradara
Endri Pelita, 2022.
M. Rosyid H.W.
Pengurus Bidang Litbang Dewan Kesenian
Sidoarjo.
*Esai ini pernah dimuat di majalah seni budaya
Kidung, edisi 43 Juli 2023, Dewan Kesenian Jawa Timur
Comments
Post a Comment