Skip to main content

Sidoarjo Penerus Kejayaan Kahuripan


Tahun 1016, kejayaan kerajaan Medang runtuh sudah. Pesta pernikahan buyar, raja bersama keluarga dihabisi, pusat kerajaan dibakar. Tetapi Airlangga selamat. Ia menyingkir ke hutan.

Empat tahun berselang, Airlangga didatangi para pemuka agama. Diberi tanggung jawab mengembalikan kejayaan kerajaan Medang. Dan sebagai ksatria, tanggung jawab itu diterima.

Airlangga mulai bergerak. Kerajaan bawahan yang memisahkan diri, satu per satu, ditundukkan. Disatukan kembali dalam panji-panji kemegahan Medang. Tentu bukan sebuah upaya mudah. Airlangga juga tidak selalu menang. Dia bahkan pernah dipaksa terusir dari pusat kerajaan. Lalu mendirikan pusat kerajaan baru.

Sesampai pada tahun 1037, Airlangga berhasil mengembalikan kejayaan Medang. Kebetulan pada masa yang sama, pamor kerajaan Sriwijaya kian redup. Maka, sinar kejayaan Medang seakan tanpa tandingan di Nusantara.

Kahuripan dijadikan Airlangga sebagai pusat kerajaan Medang. Makadatwan i Kahuripan. Prasasti Kamalagyan mencatat itu. Sebuah prasasti yang sejak ketika diresmikan oleh Airlangga masih berdiri kokoh di tempatnya. Yakni di dusun Tropodo desa Klagen kecamatan Krian kabupaten Sidoarjo.

Maka kita bisa membayangkan. Sekitar seribu tahun lalu, sebuah upacara resmi digelar kerajaan Medang di Krian Sidoarjo. Raja Airlangga bersama para petinggi hadir. Titah Raja Airlangga dibacakan. Titah yang harus dipatuhi oleh seluruh rakyat Medang. Dipatuhi tidak hanya untuk saat itu, tetapi, dlaha ing dlaha, titah Raja Airlangga berlaku hingga akhir zaman.

Melekat suatu hal penting dalam prasasti Kamalagyan. Prasasti, yang sekali lagi perlu ditegaskan, berada di wilayah Sidoarjo. Ia prasasti yang berbeda dengan kebanyakan prasasti lain. Prasasti ini mengejawantahkan komitmen Raja Airlangga terhadap kemakmuran rakyat.

Komitmen Raja Airlangga untuk menghidupkan perdagangan (niaga), pengembangan pertanian, kenyamanan menjalani ibadah keagamaan, kerukunan sosial, dan keamanan warga.

Prasasti yang seakan menjelaskan identitas atau jati diri masyarakat Sidoarjo saat ini. Sebuah masyarakat yang industrial sekaligus agraris sekaligus religius. Masyarakat yang sibuk berniaga namun taat pada pemuka agama. Masyarakat yang urban sekaligus ndeso.

Inilah Sidoarjo. Watak yang terpatri sejak seribu tahun lalu dan terus bertahan hingga saat sekarang. Ia menjadi semacam takdir. Takdir dari Sidoarjo.

Oleh sebab telah menjadi takdir. Mau tidak mau, suka tidak suka, masyarakat Sidoarjo mengemban tanggung jawab seperti telah dititahkan oleh Raja Airlangga. Meneruskan kejayaan kerajaan Medang Kahuripan.

Sidoarjo penerus kejayaan Kahuripan. Dan menjaga, dengan kerukunan, saling menghormati, saling melengkapi, saling menguatkan, agar tidak lagi terpecah jadi Janggala Panjalu. []

*) Ditulis oleh Ribut Wijoto, Ketua Umum Dewan Kesenian Sidoarjo.

Comments

Popular posts from this blog

Nyadran Balongdowo, Nasibmu Kini

  sumber : https://radarsidoarjo.jawapos.com Nyadran di Desa Balongdowo terdiri atas 7 tahapan penting sebagai cara mengungkapan rasa syukur. Tahap pertama, yaitu tahap persiapan. Pada malam sebelum pemberangkatan, warga Balongdowo mempersiapkan keperluan prosesi mulai dari makanan, biasanya mengolah kupang, tumpeng, dan menghias perahu. Tahap kedua adalah tahap pemberangkatan, meliputi iring-iringan tumpeng ke tepi sungai dan berdoa memanjatkan syukur kepada Allah SWT. Setelah acara pembuka, barulah perahu Nyadran memulai perjalanan menuju Desa Sawohan, Dusun Kepetingan. Tahap ketiga yaitu tahap pembuangan seekor ayam. Ketika perjalanan, anak balita yang mengikuti Nyadran diberi seekor ayam hidup untuk dibuang di muara Kalipecabean agar anak balita tidak kesurupan. Tahap keempat, melarung tumpeng di muara Clangap (pertemuan antara sungai Balongdowo, sungai Candi, dan sungai Sidoarjo). Hal ini bertujuan agar para nelayan pencari kupang diberi keselamatan saat melaut. Namun, melarun...

Dekesda dan Umsida dalam Perjalanan Budaya “Ngetung Batih” di Dongko Trenggalek

  “Kami berjalan pelan menyisir pantai selatan, mendaki pegunungan dari Desa Pringapus sampai Kecamatan Dongko, berburu pengetahuan budaya yang mekar manis di setiap unsur perilaku masyarakatnya.” Joko Susilo – Ketua Program Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda) juga Dosen Psikologi Budaya Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) membuka kalimat wawancaranya. Ia datang ke Dongko bersama tim riset budaya gabungan Dekesda dan Umsida. Joko menambahkan “Kami juga membawa beberapa mahasiswa pertukaran dari Universitas Adzkia Sumatra Barat dan Universitas Muhammadiyah Sidrap Sulawesi Selatan, tujuan kami adalah supaya mereka mengetahui kekayaan budaya yang ada di Jawa Timur”. Upacara adat ‘ Ngetung Batih’ digelar di kecamatan Dongko 7 hari 7 malam, tanggal 6 sampai 13 Juli 2024. Tanggal 6 dibuka dengan doa bersama. Tanggal 7 siang digelar Kirab Budaya dilanjutkan penampilan bersama 2700 penari jaranan Turonggo Yakso. Setiap malam berikutnya dilanjut pertunjukan seni yang ada di wilayah ...

"Mpu Kanwa" Perpustakaan Dewan Kesenian Sidoarjo

  Mpu Kanwa adalah seorang sastrawan dan pujangga Kraton Kahuripan pada masa pemerintahan raja Airlangga. Karya-karya Empu Kanwa antara lain Kakawin Arjunawiwaha termasuk karya sastra sebagai persembahan kepada Raja Airlangga yang telah sukses berjuang memulihkan stabilitas keamanan Negeri Medang. Kakawin ini ditulisnya pada masa pemerintahan Prabu Airlangga antara tahun 1028 - 1035 . (Wikipedia)   “Apalah arti sebuah nama”. Begitulah William Shakespeare pernah mengungkapkan betapa tidak penting sebuah nama. Tapi nama Mpu Kanwa menjadi sebuah nama penting untuk Dewan Kesenian Sidoarjo. Bukan hal yang sepele hingga nama Mpu Kanwa disematkan sebagai nama perpustakaan Dekesda. Hari Rabu, tanggal 1 Mei 2024, bertepatan dengan hari buruh, Dekesda me- launching perpustakaan Mpu Kanwa. Acara yang dihadiri para pengurus Dekesda juga dosen-dosen dari Universitas Airlangga. Diungkapkan oleh Rafif Amir-sekretaris Dekesda- saat memberi sambutan acara launching perpustakaan Mpu Kanwa, ...